HAK ASASI PERSPEKTIF AL-QUR'AN


AYAT-AYAT TENTANG HAK ASASI MANUSIA
Dosen Pengampu : Moh. Alwy Amru Ghozali, M.S.I


OLEH :
                                    Sugeng Nur Oktavianti                   211016015

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
TAHUN 2019






BAB I

PENDAHULUAN

       A.     Latar Belakang Masalah
Hak Asasi Manusia merupakan hak yang dimiliki setiap orang sejak lahir. Bahkan, umat muslimpun memiliki Hak Asasi Manusia. Ini berarti bahwa Hak Asasi Manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan ibad  adalah tetap kepada Allah swt. Manusia bertanggung jawab atas kedua kategori hak tersebut kepada Allah swt. Dengan demikian, Hak Asasi Manusia dalam islam merupakan hak-hak yang diberikan oleh Allah swt. Hak-hak yang diberikan oleh raja atau lembaga-lembaga lainnya, dari lembaga Negara. Begitu pula sanksi-sanksiyang diberikan yang diberikan lembaga-lembaga tersebut akibat dari pelanggaran HAM tidak sebanding oleh sanksi Allah.
Untuk memahami bagaimana HAM dalam Al-Qur’an, diperlukan kajian khusus. Terutama mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, yang mana harus memiliki tingkat kemampuan bersosial, dan faham yang bersangkutan dengan Al-Qur’an. Dengan ini kami menulis hal-hal tentang Hak Asasi Manusia yang bersangkutan dengan kitab Allah.
     B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pengertian dari  Hak  Asasi Manusia?
2.      Bagaimana  Hak  Asasi Manusia Pespektif  Al-Qur’an?
     C.      Tujuan
1.      Agar mengetahui pengertian sekaligus penjabaran Hak Asasi Manusia.
2.      Agar mengetahui Hak Asasi manusai perspektif Al-Qur’an.


BAB II
PEMBAHASAN
A.       Hak Asasi Manusia

1.        Pengertian Hak Asasi Manusia
HAM tersusuan dari tiga kata: hak, asasi, dan manusia. Kata hak atau haqq berasal dari bahasa arab, dan memiliki makna benar, tepat dan sesuai tututan. Lawan dari haqq adalah bathil. Hak secara semantik berarti milik, harta, atau sesuatu yang ada secara pasti. Contoh penggunaan kata hak dapat dibaca dalam Surat Yasin ayat ke-7: “Sesungguhnya telah pasti berlaku (haqq) perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka tetapi mereka tidak beriman”. Pengertian yang paling mudah dipahami adalah bahwa manusia merupakan mahkluk yang berakal budi.
Dalam islam, khususnya para fuqoha (ahli fiqih) berbeda pendapat tentang pengertian Hak. Ada ulama yang mengartikan hak mencakup hal-hal yang bersifat materi, sedangkan ulama lain mengaitkan pengertian hak untuk hal-hal yang bersifat non-materi. Sebagai contoh kalimat: hak Allah dan hak hamba. Ulama lain memahami hak sebagai hak atas harta benda dab segala sesuatu yang lahir dari suatu akad (perjanjian), seperti akad jual beli.
Hak bermakna suatu kekhususan yang terlindung, dalam pengertian, hubungan khusus antara seseorang dan sesuatu atau kaitan seseorang dengan orang lain, yang tidak dapat diganggu gugat. Pengertian itu mencul dari pandangan Ibnu Nujaim, seorang ahli fiqh. Sedangkan Fathi ad-Duraini mengemukakan bahwa hak ialah suatu kekhususan kekuasaan terhadap sesuatu atau keharusan penunaian terhadap yang lain untuk memenuhi kemaslahatan tertentu. Yang dimaksud kekhususan ini ialah kekhususan hubungan seseorang dengan sesuatu.
2.        Konsep Hak Asasi Manusia
Tentang konsepsi HAM sebagai berikut:
(Pasal 1) “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dianugerahi akal dan budi nurani yang hendaknya satu sama lain bergaul dalam semangat persaudaraan”
(Pasal 2) “Setiap orang mempunyai hak atas semua hak dan kebebasan yang termaktub di dalam setiap pernyataan ini, tanpa kekecualikan macam apa pun, seperti asal-usul keturunan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendirian politik atau pendirian lainnyan, kebangsaan atau asal-usul sosial, hak milik, status kelahiran ataupun status lainnya,”
Selanjutnya dalam pasal-pasalnya terkandung semua hak yang dimiliki oleh setiap manusia seluas bidang kehidupan manusia modern. (Monib Muhammad, Bahrowi Islah. 2011: 35-39)

A.       Hak Asasi Manusia  Perspektif Al-Quran
1.        Hak  Mendapatkan Pendidikan (QS. At-Taubah: 122)
QS. At-Taubah: 122

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ -١٢٢-

Artinya:“Dan tidak sepatutnya orang-orang Mukmin itu semuanya pergi (kemedan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.”

Kandungan Ayat:
a.    Jika terjadi peperangan, tidak perlu semua muslimin berangkat ke medan perang apabila sebagian saja sudah dapat mengatasi.
b.    Harus ada pembagian tugas dalam masyarakat, sebagian bertugas menjaga keamanan (perang), dan sebagian lagi memperdalam ilmu agama, agar bila yang bertugas perang sudah datang, yang memperdalam ilmu agama dapat menyampaikan ilmu yang di dapatnya kepada mereka yang bertugas perang.
c.     Dakwah dapat dilakukan secara efektif.
d.    Meningkatkan kecerdasan umat muslim.

Tinjauan Bahasa
أواه khusyu’ dan merendahkan diri. حَلِيمٌ yang sangat penyantun, yakni memaafkan dosa dan sabar atas gangguan. الْعُسْرَةِ kesulitan dan sulitnya perkara. Perang Tabuk disebut perang Usrah (sulit) sebab dalam perang itu, kaum muslim menghadapi situasi yang sangat sulit. يَزِيغُ menyeleweng dari petunjuk dan keimanan. ظَمَاٌ sangat haus. نَصَبٌ letih dan lelah. مَخْمَصَةٌ kelaparan yang sangat sehingga tampak pada perut. يَنَالُونَ mengena dan meraih. غِاْظةَ kuat dan kasar. عَزِيزٌ sulit dan berat. عَنِتُّمْ sulit dan berat kalian.( Ali Ash-Shabuni  Muhammad. 2011:  578-579).

Sebab Turunnya Ayat
a.            Ketika kaum Anshar berbaiat kepada Nabi pada malam Aqabah, mereka berjumlah tujuh puluh orang, maka Abdullah bin Rawahah RA berkata, “Bersyaratlah untuk Tuhanmu dirimu sekehendakmu.” Nabi bersabda, “Aku bersyarat untuk Tuhanku bahwa kalian menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan apapun dengan-Nya. Dan aku bersyarat untuk diriku bahwa kalian mencegah aku dari apa yang aku vegah dari kalian darinya. “ Mereka berkata, “jika kami berbuat hal itu, apa untuk kami? Nabi bersabda, “Syurga.” Mereka berkata, “Jual-beli yang menguntungkan. Kami tidak akan menggagalkan dan tidak akan minta digagalkan.” Maka turunlah ayat: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, dan harta mereka.”
b.            Ketika Abu Thalib akan meninggal dunia, maka Nabi mengunjunginya dan di sana ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah. Nabi bersabda, “Pamanku, ucapkanlah la ilaha illallah, kalimat yang aku persaksikan di sisi Allah untukmu.” Abu Jahal dan Abdullah berkata, “Hai Abu Thalib, Apakah engkau membenci agama Abdul Muthalib?” Nabi terus menerus ‘menawarkan’ kalimat  la ilaha illallah, kepada Abu Thalib dan mengucapkan sabda tersebut, sampai akhirnya Abu Thalib berkata terakhir kalinya, “Dia berada diatas agama Abdul Muthalib.” Dan dia tidak mau mengucapkan la ilaha illallah. Maka Nabi bersabda, “Ingat, demi Allah, aku pasti meminta ampun kepada Allah untukmu selama aku tidak dilarang darinya.” Maka Allah turunkan ayat, “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik,” (At-Taubah: 113.) Dan turunlah ayat: Sesungguhnya kamu tidak akan dapat member petunjuk kepada orang yang kam kasihi,” (Al-Qashash: 56).

Kesesuaian Antar Ayat
Setelah Allah menuturkan sikap orang munafik yang tidak ikut perang serta meggembosi orang agar tidak perang, maka Allah menuturkan sifat kaum muslimin yang perang dan menjual dirinya karena Allah. Kemudian Allah menuturkan tiga orang yang tidak ikut perang Tabuk dan Allah menerima taubat mereka. Allah menutup surat At-Tubah dengan nikmat terbesar, yaitu diutusnya pelita yang menyinari, Nabi berbangsa Arab yang diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh semesta alam. 

 2.  Kebebasan Beragama (QS. Al-Kafiirun: 1-6 dan Al-Kahfi: 29)
QS. Al-Kafiirun: 1-6



قُلْ يٰٓأَيُّهَا الْكٰفِرُوْنَ (1)لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَ(2) وَلَآ أَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ أَعْبُدُ(3) وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْ(4) وَلَآ أَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِىَ دِيْنِ (6)

Artinya:
1.  Katakanlah (Muhammad, “Wahai orang-orang kafir!
2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
3. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah.
4. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah.
6. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
Kandungan Ayat

Dalam ayat-ayat ini Allah memerintahkan Nabi-Nya agar menyatakan kepada orang-orangf kafir, bahwa “Tuhan” yang kamu sembah bukanlah “Tuhan” yang saya sembah, karena kamu menyembah  “Tuhan” yang memerlukan pembantu dan mempunyai anak atau ia menjelma sesuatu bentuk atau dalam ssesuatu rupa atau bentuk-bentuk yang kau dakwakan.
Sedang saya menyembah Tuhan yang tidak ada tandingan-Nya dan tidak ada sekutu bagi-Nya; tidak mempunyai anak, tidak mempunyai teman wanita dan tidak menjelma menjadi sesuatu tubuh. Akal tidak sanggup menerka bagaimana bagaimana Dia, tiak ditentukan oleh tempat dan tidak terikat oleh masa, tidak memerlukan perantaraan dan tidak pula memerlukan penghubung.
Maksudnya perbedaaan sangat besar antara “Tuhan” yang kamu sembah dengan “Tuhan” yang saya sembah. Kamu menyakiti tubuhmu dengan sifat-sifat yang tidak layak sama sekali dengan Tuhan yang saya sembah.
Dalam ayat ini Allah menambahkan lagi pernyataan yang disuruh sampaikan kepada orang-orang kafir dengan menyatakan, “kamu tidak menyembah Tuhanku yang aku panggil kamu untuk menyembah-Nya, karena berlainan sifat-sifat-Nya dari sifat-sifat “Tuhan” yang kamu sembah dan tidak mungkin dipertemukan antara kedua macam sifat tersebut.
Kemudian sesudah Allah menyatakan yentang tidak mungkin ada persamaan sifat antara Tuhan yang disembah oleh Nabi SAW dengan yang disembah oleh mereka, maka dengan dengan sendirinya tidak ada pula persamaan tentang ibadat. Mereka menganggap bahwa ibadat yang mereka lakukan di hadapan berhala-berhala atau di tempat-tempat beribadat lainnya, atau di tempat-tempat sepi, bahwa ibadat itu dilakukan secara ikhlas untuk Allah, sedangkan Nabi tidak melebihi mereka sedikitpun dalam hal itu, maka dalam ayat-ayat ini Allah memerintahkan Nabi-Nya agar menjelaskan bahwa, “Saya tidak beribadat sebagai ibadatmu dan kamu tidak beribadat sebagai ibadatku”. Ini adalah pendapat Abu Muslim Al Asfahani.
Maksud keterangan di atas menjelaskan bahwa hal tersebut menjadi jelas dengan adanya perbedaan apa yang disembah dan cara ibadat masing-masing. Oleh sebab itu tidak mungkin sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan cara beribadat kepada-Nya, karena Tuhan yang saya sembah maha suci dari sekutu dan tandingan, tidak menjelma pada seseorang atau memihak kepada suatu bangsa atau orang tertentu. Sedang “Tuhan” yang kamu sembah itu berbeda dari Tuhan yang tersebut di atas, lagi pula ibadat saya hanya untuk Allah saja, sedang ibdatmu bercampur dengan syirik dan dicampuri dengan kelalaian dari Allah, Maka yang demikian itu tidak dinamakan ibadat.

Sebab Turunnya Ayat
Telah diriwayatkan  bahwa Walid bin Mughirah, As bin Wail As Sahmi, Aswad bin Abdul Muttalib dan Umaiyah bin Khalaf bersama rombongan pembesar-pembesar Quraisy datang dan menemui Nabi SAW, menyatakan “Hai Muhammad! Marilah engkau memgikuti ajaran kami dan kami mengikuti agamamu dan engkau bersama kami dalam sebuah masalah yang kami hadapi, engkau menyembah Tuhan kami setahun dan kami menyembah Tuhanmu setahun.
Jika agama yang engkau bawa itu benar, maka kami berada bersamamu dan mendapat bagian darinya, dan jika ajaran yang ada pada kami itu benar, maka engkau telah bersekutu pula bersama-sama dan engkau akan mendapat bagian pula daripadanya”. Beliau menjawab, “aku berlindung kepada Allah dari mempersekutukan-Nya”. Lalu turunlah surat Al-Kafirun sebagai jawaban terhadap ajakan mereka.

Kesesuaian Antar Ayat
Surat al-Kafirun menerangkan bahwa Rasulullah SAW tidak akan mengikuti agama orang-orang kafir, sedangkan dalam surat An-Nasr diterangkan bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW akan berkembang dan menang.
QS. Al-kahfi: 29
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا
                                                   
Artinya: Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
Kandungan Ayat
Nilai-nilai yang disebut diatas tidak boleh diubah atau diabaikan. Ia adalah harga mati, karena itu adalah haq, yakni sesuatu yang mantap dan tidak mengalami perubahan, sebab sumbernya adalah Allah SWT. Karena itu siapa yang mau menerimanya silahkan menerimanya dan siapa yang enggan, biar saja dia enggan.
Selanjutnya ayat diatas menjelaskan kerugian dan kecelakaan akibat penganiayaan diri itu dengan menyatakan: “Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim,yakni mereka yang angkuh dan mempersekutukan Allah itu, neraka yang gejolaknya mengepung mereka semua dari segala penjuru, sehingga mereka sama sekali tidak dapat keluar dan menghindar, dan terpaksa menjalani siksaan. Dan jika mereka meminta pertolongan dari panasnya api niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti cairan besi atau minyak yang keruh yang mendidih yang menghaguskan muka bila didekatkan ke bibir, apalagi jika menyentuh bibir, lebih-lebih bila diteguk. Itulah seburuk-buruk minuman dan tempat istirahat yang paling jelek.”

Kata سرادق suradiq berasal dari bahasa Persia. Ada yang memahaminya dalam arti kemah dan ada juga dalam arti penghalang yang menghalangi sesuatu masuk ke rumah atau kemah. Neraka diibaratkan dengan bangunan yang memiliki penghalang berupa gejolak api, sehingga yang disiksa tidak dapat keluar, dan pihak lain pun tidak ada yang dapat masuk untuk menolong. Dengan demikian yang disiksa benar-benar diliputi oleh api itu. Perlu dicatat bahwa biasanya rumah atau kemah-kemah yang memiliki suradiq adalah milik orang-orang yang berpunya, dengan demikian, penggunaaan kata ini di sini merupakan cemoohan untuk penghuni neraka. (Shihab, Quraish. 2002: 52-54)
Sebab Turunnya
Ibnu Jarir mengetengahkan sebuah hadis melalui Dhahhak. Hadis yang sama diketengahkan pula oleh Ibnu Murdawaih melalui sahabat Ibnu Abbas r.a. ynag menceritakan, bahwa Nabi SAW. Mengucapkan suatu sumpah. Kemudian empat puluh malam selanjutnya Allah menurunkan firman-Nya “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali dengan menyebut Insya’Allah”. (QS Al-Kahfi: 28-34)
Sahabat Ibnu Abbas r.a. mengatakan, “Ayat di atas diturunkan berkenaan dengan Umayah Ibnu  Khalaf Al- Jumahiy. Demikian itu karena Umayah menganjurkan supaya Nabi SAW mengerjakan suatu perbuatan yang tidak disukai oleh Nabi sendiri, yaitu mengusir orang-orang miskin yang menjadi pengikutnya dari sisinya, demi untuk mendekatkan akan pemimpin-pemimpin Mekkah kepada dirinya. Setelah peristiwa itu, turunlah ayat diatas tadi.
Ibnu Abu Hatim mengetengahkan sebuah Hadis melalui Ar-Rabi’ yang menceritakan, bahwa Nabi SAW pernah bercerita kepada kami bahwa pada suatu hari beliau bertremu dengan Umayah Ibnu Khalaf yang membujuknya, sedangkan Nabi SAW pada saat itu dalam keadaan tidak memperhatikan apa yang dimaksud oleh Umayah, maka turunlah ayat di atas tadi. Ibnu Abu Hatim mengetengahkan pula Hadis lain melalui sahabat Abu Hurairah r.a. yang menceritakan bahwa pada suatu hari Uyainah Ibnu Hishn datang kepada Nabi SAW. Sedang sahabat Salman berada di sisinya. Maka Uyainah langsung berkata “Jika kami datang maka singkirkanlah orang ini, kemudian persilahkan kami masuk” maka turunlah ayat diatas.
Tinjauan Bahasa
الْحَقُّ/ Al Haq mengandung pengertian yang ada secara pasti, yang cocok da sesuai dengan yang sebenarnya, yang ada dengan tanpa keraguan, yang bermanfaat, tidak sia-sia dan binasa.
رَبً/Rabb, Allah, seakar dengan kata tarbiyah, yaitu mengarahkan sesuatu tahpa demi tahap menuju kesempurnaan kejadian dan fungsinya.
الْوُجُوهَ / Al Wajh/ wajah, bagian yang paling menonjol dari sisi luarnya serta paling jelas menggambarkan identitasnya.
سُرَادِقً/ Suradiq berasal dari bahasa Persia. Ada yang memahaminya dalam arti kemah dan ada juga yang memahaminya dalam arti penghalang yang menghalangi sesuatu masuk ke rumah atau kemah. Ini diibaratkan seperti neraka yang memiliki penghalang berupa gejolak api, sehingga yang disiksa tidak dapat keluar.
1.        Hak Kepemilikan (QS. Al-Baqoroh: 29 dan An-Nisa: 29
QS. Al-Baqarah: 29
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (29)
Artinya: Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

Kandungan Ayat
Ayat ini menegaskan peringatan Allah SWT yang tersebut pada ayat-ayat tersebut yang lalu yaitu Allah telah menganugerahkan karunia yang besar kepada manusia, menciptakan langit dan bumi untuk manusia, untuk diambil manfaatnya, sehingga manusia dapat menjaga kelangsungan hidupnya dan agar manusia berbakti kepada Allah penciptanya, kepada keluarga dan masyarakat. Perkataan “Dia berkehendak menciptakan langit” memberi pengertian bahwa Allah menciptakan langit setelah Dia menciptakan bumi. (Sonhadji Muhammad, Dahlan  Zainal Dan Prawiro Chamim. 1995: 84)
Sebab Turunnya Ayat
Dalam Tafsir Jalalain yang diterjemahkan oleh KH. Misbah Zainul Musthofa dikatakan: Ayat ini diturunkan karena orang kafir ingkar terhadap hari kebangkitan atau kehidupan setelah mati, mereka ingkar dan tidak percaya bahwa Allah  bias kembali menghidupkan orang sesudah mati. Maka diturunkanlah ayat ini sebagi argumentasi untuk menentang keingkaran dan ketidak percayaan mereka. Menciptakan langit dan bumi yang besar saja Allah mampu, apalagi menghidupkan orang sesudah mati.
Kesesuaian Antar Ayat
Kesesuaian dengan ayat sebelumnya adalah, kedua ayat tersebut menjelaskan tentang kekuasaan Allah yang Maha Kuasa, yang mana mampu menghidupkan orang-orang sesudah mati dan Allahlah yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Dari dua ayat ini dapat juga dikorelasikan dengan beberapa Asmaul Husna bagi Allah yang berbunyi, al-Mumitu, al-Muhyi, al-Kholiq, al-Alim.
Dikatakan al-Mumitu (maha mematikan), karena ayat 28 dikatakan bahwa Allahlah yang akan mematikan seluruh umat manusia. Allah berkenan kapanpun waktu kita tiba untuk menghadap kepadanya. Dalam ayat 29 juga tersirat satu Asmaul Husna yang berbunyi al-Muhyi (maha menghidupkan), dimana Allahlah yang akan menghidupkan kita kelak di hari kebangkitan, yang mana kita akan menerima segala bentuk imbalan dari apa yang kita perbuat selama di dunia ini.
Sedangkan yang ada pada ayat 29 yaitu al-Kholiq (Maha Pencipta), dimana Allahlah yang telah menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi, dan juga tujuh lapisan langit yang menjulang tinggi diatasa bumi tanpa suatu tiang penyanggah. Dan al-Alim yang disindir alam ayat 29 yang mengidentifikasikan bahwa Allah maha Mengetahui segala bentuk perbuatan manusia secara rinci, karena Allah Maha Mengetahui setiap inci bentuk penciptaannya yang jelas lebih rumit diketahui daripada segala bentuk perilaku manusia dan semua makhluk hidup.
QS. An-nisa: 29 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

(29)

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Kandungan Ayat
Ayat ini menerangkan hukum transaksi secara umum, lebih khusus kepada transaksi perdagangan, bisnis jual beli. Sebelumnya telah diterangkan transaksi muamalah yangberhubungan dengan harta, seperti harta anak yatim, mahar, dan sebagainya. Dalam ayat ini Allah mengharamkan orang beriman untuk memakan, memanfaatkan, menggunakan, (dan segala bentuk transaksi lainnya) harta orang lain dengan jalan yang batil, yaiu yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Kita boleh melakukan transaksi terhadap harta orang lain dengan jalan perdagangan dengan asas saling ridha, saling ikhlas. Dan dalam ayat ini Allah juga melarang untuk bunuh diri, baik bunuh diri sendiri atau saling membunuh. Dan Allah menerangkan semua ini, sebagai wujud dari kasih sayang-Nya, karena Allah itu maha kasih sayang kepada kita

Sebab Turunnya
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan; Tatkala Allah menurunkan ayat, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.”(An-Nisa’ : 29) orang-orang muslim kemudian mengatakan Allah melarang kita memakan harta benda sesama kita secara batil. Sedangkan makanan lebih utama daripada harta sehingga tidak halal bagi kita untuk makan di tempat orang lain disebabkan ayat ytersebut. Malka turunlah ayat, “Tidak ada halangan bagi orang buta.” Hingga firman Allah, “Di rumah yang kamu miliki kuncinya”. (Imam As-Suyuti. 2014: 386)
Kesesuaian Antar Ayat
Pada ayat sebelumnya ditegaskan bahwa segala aturan syari’ah baik yang berkaitan dengan urusan materi atau pun kehidupan berkeluarga, telah ditetapkan Allah SWT untuk memberi keringanan bagi umat. Ayat 29 diatas memberikan bimbingan tentang syari’ah yang berkaitan dengan cara transaksi yang benar. Setiap umat harus menghormati orang lain, jangan sampai mengambilnya dengan cara yang salah. Transaksi yang benar adalah dengan cara jual beli yang saling menguntungkan dan memberikan kepuasan bagi semua pihak.
1.        Hak Persamaan dan Kebebasan (QS. Al-Isro: 70, An-Nisa: 58)
QS. Al-isro': 70
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Kandungan Ayat
Ayat ini menjelaskan sebab anugerah itu, yakni karena manusia adalah makhluk unik yang memiliki kehormatan dalam kedudukannya sebagai manusia baik ia taat beragama maupun tidak. Dengan bersumpah sambil mengukuhkan pernyataan-Nya dengan kata (قد) qad, ayat ini menyatakan bahwa dan Kami yakni Allah bersumpah bahwa sesungguhnya telah Kami muliakan anak cucu Adam, dengan bentuk tubuh yang bagus, kemampuan berbicara dan berpikir, serta berpengtahuan dan Kami beri juga mereka kebebasan memilah dan memilih. Dan Kami angkut mereka di daratan dan di lautan dengan aneka alat transport yang Kami ciptakan dan tundukkan bagi mereka bagi mereka, atau yang Kami ilhami mereka perbuatannya, agar mereka dapat menjelajahi bumi dan angkasa yang kesemuanya Kami ciptakan untuk mereka. Dan Kami juga beri mereka rezeki dari yang baik-baik sesuai kebutuhan mereka, lagi lezat dan bermanfaat untukpertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa mereka dan kami lebihkan mereka atas banyak makhluk dari siapa yang telah kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. Kami lebihkan mereka dari hewan, dengan akal dan daya cipta, sehingga menjadi makhluk bertanggung jawab. Kami lebihkan yang taat dari mereka atas malaikat karena ketaatan manusia melalui perjuangan melawan setan dan nafsu, sedangkan ketaatan malaikat tanpa tantangan. Demikian seterusnya dan masih banyak yang lainnya.
            Ayat diatas tidak menjelaskan bentuk kehormatan, kemuliaan dan keistimewaan yang dianugerahkan Allah kepada anak cucu Adam as. Itu agaknya untuk mengisyaratkan bahwa kehormatan tersebut banyak dan ia tidak khusus untuk satu ras atau generasi tertentu, tidak juga bersadar agama atau keturunan, tetapi dianugerahkan untu seluruh anak cucu Adam as. Sehingga diraih oleh orang perorang, pribadi demi pribadi. (Shihab Quraish. 2002: 513-514)

Kesesuaian
Munasabah dengan ayat sebelumnya yakni, pada ayat 69 menggamabrkan anugerah-Nya ketika berada di laut dan di darat, baik terhadap yang taat maupun durhaka. Maka pada ayat 70 menjelaskan sebab anugerah itu yakni karena manusia adalah mahkluk unik yang memiliki kehormatan dalam kedudukannya sebagai manusia baik ia taat beragama maupun tidak.
QS. An-Nisa: 58                                                           
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Kandungan Ayat
Amanat ialah “sesuatu yang dipercayakan” Termasuk didalam nya segala apa yang dipercayakan kepada seseorang, baik harta maupun ilmu pengetahuan dan sebagainya. Dalam kitabnya “Ihya’ulumuddin” Imam Ghazali menerangkan amanat itu terbagi menjadi 5:
a.        Amanat ilmu
b.      Amanat kehakiman peradilan, hendaklah menghukum dengan adil.
c.       Amanat Tuhan kepada hambanya, seperti tubuh dirinya, panca indra, akalnya, agama, dan sebagainya. Semuanya itu adalah amanat dari Allah kepada manusia, yang mesti dipeliharanya dengan sebaik-baiknya.
d.      Amanat manusia sesama manusia, baik berupa harta maupun berbentuk rahasia yang dipercayakan kepada kita. Maka adalah suatu kewajiban kita untuk menyimpannya dengan sebaik-baiknya dan haram membukanya kepada orang babnyak, dengan tidak seizin orangnya atau pihak yang mengamanatkan. Termasuk juga dalam amanat ini, menurut keterangan al-Razi, keadilan dari pihak pemerintah, sebagai salah satu amanat yang mesti dipelihara dengan sebaik-baiknya. Demikian juga ilmu ynag diamanahkan Allah kepada ulama’, sarjana hendaklah dijaga dan jangan disembunyikan dan hendaklah mereka menerangkan hukum atau apa yang diminta dari mereka itu.
e.       Amanat manusia kepada dirinya sendiri, cara memelihara amanat yang kelima ini menurut keterangan al-Razi ialah, mengutamakan kebaikan bagi dirinya dan menjaga dirinnya itu dari segala apa yang dapat mendatangkan bahaya kepadanya. (Halim Hasan, Abdul. 2011: 282-283)


Sebab Turunnya
Dalam satu riwayat dikemukakan bahwa setelah fathul makkah (pembebasan makkah), Rasulullah SAW, memanggil Ustman Bin Thalhah untuk meminta kunci ka’bah. Ketika Ustman datang menghadap Nabi untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah al-Abbas seraya berkata “ya Rasulullah, Demi Allah, serahkan kunci itu kepadaku. Saya akan rangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqayah (urusan pengairan).
Ustman menarik kembali tnagannya, maka bersabda Rasulullah “berikanlah kunci itu kepadaku wahai Ustman!” Ustman berkata “inilah dia, amanat dari Allah,” maka berdirilah Rasulullah untuk membuka ka’bah kemudian keluar thawaf di Baitullah. Lalu turunlah Jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kembali kepada Ustman, Rasulullah melaksanakan perintah itu sambil membaca ayat tersebut diatas (QS. An-Nisa: 58).  (Dahlan, Alfarizi Zaka. 2002: 223-224)
Kesesuaian Antar Ayat
Setelah diterangkan pada ayat yang lalu besarnya pahala dan balasan bagi orang-orang yang beriman, dan beramal shaleh, maka pada ayat ini, diterangkan bahwa diantara amal-amal shaleh yang penting adalah melaksanakan amanat dan menetapkan hukum antara manusia dengan adil dan jujur. 

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setiap orang memiliki hak asasi yang sudah melekat pada diri masing-masing, yang dalam bahasa Arab disebut Haqq yang mempunyai makna benar, tepat, dan sesuai tuntutan. Dan lawan dari Haqq itu sendiri adalah bathil.
Hak bermakna suatu kekhususan yang terlindung, dalam pengertian, hubungan khusus antara seseorang dan sesuatu atau kaitan seseorang dengan orang lain yang tidak dapat di ganggu gugat. Pandangan ini di kemukakan oleh Ibnu Nujaim, beliau adalah ahli Fiqih.
Konsep Hak Asasi Manusia tentang konsep HAM adalah sebagai berikut:
(Pasal 1) Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dianugerahi akal dan budi nurani yang hendaknya satu sama lain bergaul dalam semangat persaudaraan
(Pasal 2) Setiap orang mempunyai hak atas semua hak dan kebebasan yang termaktub di dalam setiap pernyataan ini, tanpa kekecualikan macam apa pun, seperti asal-usul keturunan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendirian politik atau pendirian lainnyan, kebangsaan atau asal-usul sosial, hak milik, status kelahiran ataupun status lainnya.



Komentar